UJI KUALITAS
DAGING
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Daging
merupakan salah satu produk ternak yang menjadi penyuplai protein hewani
terbesar bagi masyarakat Indonesia. Daging sapi, kerbau, domba, kambing, ayam
dan bebek adalah beberapa jenis daging yang lazim dikonsumsi dan diolah menjadi
aneka makanan oleh masyarakat Indonesia. Indonesia yang kaya akan kebudayaan
menyebabkan jenis olahan dari daging tersebut berbeda antara satu daaerah
dengan daerah lainnya.
Pada umumnya
masyarakat Indonesia menghendaki daging yang empuk yang berasal dari hewan
ternak yang memiliki umur potong yang muda. Disamping hal tersebut, beberapa
jenis olahan makanan dari daging juga mempertimbangkan serat daging, tingkat
kekenyalan dan kandungan air dari daging tersebut. Hal ini terkait dengan cara
pengolahan dari berbagai olahan makanan tersebut seperti perebusan,
penggilingan, pembakaran dan penggorengan.
Daging yang
beredar di pasar setiap harinya tentunya memiliki kualitas yang sangat
bervariatif. Beragamnya kondisi ternak, cara pemeliharaan dan umur potong dari
ternak tersebut menyebabkan kualitas dari daging yang dihasilkan menjadi
beragam. Dengan beragam kondisi tersebut, pelanggan harus teliti dalam memillih
daging yang akan dikonsumsi.
Beberapa hal
yang menjadi patokan kualitas daging diantaranya daya mengikat air, tingkat
keempukan, besarnya susut masak dan pH dari daging tersebut. Hal-hal tersebut
menjadi indikator akan mutu daging yang dikonsumsi. Hal lain yang bisa
diaplikasikan dalam memilih daging adalah dengan memperhatikan warna daging dan
bau dari daging tersebut agar terhindar dari tindakan penipuan seperti
pengoplosan daging.
Tujuan
Tujuan dari
praktikum ini adalah untuk mengetahui kualitas daging dengan melihat daya
mengikat air, susut masak, pH daging dan tingkat keempukan dari daging
tersebut.
TINJAUAN
PUSTAKA
Daging
Daging
adalah semua bagian tubuh ternak yang dapat dan wajar dimakan termasuk
jaringan-jaringan dan organ tubuh bagian dalam seperti hati, ginjal, dan
lain-lain. Soeparno (1994) mendefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan
semua produk hasil pengolahan jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta
tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Dengan didasarkan
pada definisi tersebut maka organ-organ dalam (jeroan) dan produk olahan
seperti corned termasuk dalam kategori daging. Namun demikian sering dalam
kehidupan sehari-hari yang disebut dengan daging adalah semata-mata jaringan
otot, meskipun benar bahwa komponen utama penyusun daging adalah otot, tetapi
tidaklah sama otot dengan daging (Suharyanto, 2008).
Daya
Mengikat Air
Daya ikat
air oleh protein daging dalam bahasa asing disebut sebagai Water
Holding Capacity (WHC), didefinisikan sebagai kemampuan daging untuk
menahan airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan, misalnya
pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan. Daging juga mempunyai
kemampuan untuk menyerap air secara spontan dari lingkungan yang mengandung
cairan (water absorption).
Ada tiga
bentuk ikatan air di dalam otot yakni air yang terikat secara kimiawi oleh
protein otot sebesar 4 – 5% sebagai lapisan monomolekuler pertama, kedua air
terikat agak lemah sebagai lapisan kedua dari molekul air terhadap grup
hidrofilik, sebesar kira-kira 4%, dimana lapisan kedua ini akan terikat oleh
protein bila tekanan uap air meningkat. Ketiga dalah adalah lapisan
molekul-molekul air bebas diantara molekul protein, besarnya kira-kira 10%.
Denaturasi protein tidak akan mempengaruhi perubahan molekul pada air terikat
(lapisan pertama dan kedua), sedang air bebas yang berada diantara molekul akan
menurun pada saat protein daging mengalami denaturasi (Wismer-Pedersen, 1971).
Susut Masak
Susut masak
adalah perhitungan berat yang hilang selama pemasakan atau pemanasan pada
daging. Pada umumnya, makin lama waktu pemasakan makin besar kadar cairan
daging hingga mencapai tingkat yang konstan. Susut masak merupakan indicator
nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan kadar jus daging yaitu banyaknya
air yang terikat dalam dan diantara serabut otot. Jus daging merupakan komponen
dari daging yang ikut menetukan keempukan daging (Soeparno, 1992).
Nilai pH
Daging
Nilai pH
merupakan salah satu criteria dalam penentuan kualitas daging, khususnya di
Rumah Potong Hewan (RPH). Setelah pemotongan hewan (hewan telah mati),
maka terjadilah proses biokimiawi yang sangat kompleks di dalam jaringan otot
dan jaringan lainnya sebagai konsekuen tidak adanya aliran darah ke jaringan
tersebut, karena terhentinya pompa jantung. Salah satu proses yang
terjadi dan merupakan proses yang dominan dalam jaringan otot setelah kematian
(36 jam pertama setelah kematian atau postmortem) adalah proses glikolisis
anaerob atau glikolisis postmortem. Dalam glikolisis anaerob ini, selain
dihasilkan energi (ATP) maka dihasilkan juga asam laktat. Asam laktat
tersebut akan terakumulasi di dalam jaringan dan mengakibatkan penurunan nilai
pH jaringan otot.
Nilai pH
otot (otot bergaris melintang atau otot skeletal atau yang disebut daging) saat
hewan hidup sekitar 7,0-7,2 (pH netral). Setelah hewan disembelih (mati),
nilai pH dalam otot (pH daging) akan menurun akibat adanya akumulasi asam
laktat. Penurunan nilai pH pada otot hewan yang sehat dan ditangani
dengan baik sebelum pemotongan akan berjalan secara bertahap, yaitu dari nilai
pH sekitar 7,0-7,2 akan mencapai nilai pH menurun secara bertahap dari
7,0 sampai 5,6 – 5,7 dalam waktu 6-8 jam postmortem dan akan mencapai nilai pH
akhir sekitar 5,5-5,6. Nilai pH akhir (ultimate pH value) adalah
nilai pH terendah yang dicapai pada otot setelah pemotongan (kematian).
Nilai pH daging tidak akan pernah mencapai nilai di bawah
5,3. Hal ini disebabkan karena pada nilai pH di bawah 5,3 enzim-enzim
yang terlibat dalam glikolisis anaerob tidak aktif berkerja. (Lukman, 2010).
Keempukan
Daging
Salah satu
penilaian mutu daging adalah sifat keempukannya yang dipengaruhi oleh banyak
faktor. Faktor yang mempengaruhi keempukan daging ada hubungannya dengan
komposisi daging itu sendiri, yaitu berupa tenunan pengikat, serabut daging,
sel-sel lemak yang ada diantara serabut daging serta rigor mortis daging yang
terjadi setelah ternak dipotong. Faktor yang mempengaruhi keempukan daging
digolongkan menjadi faktor antemortem (sebelum pemotongan) seperti genetik
(termasuk bangsa, spesies, dan status fisiologi), umur, manajemen, jenis
kelamin, serta stres, dan faktor postmortem (setelah pemotongan) yang meliputi
metode chilling, refrigerasi, pelayuan/pemasakan (aging), pembekuan (termasuk
lama dan temperatur penyimpanan), dan metode pengolahan (termasuk metode pemasakan
dan penambahan bahan pengempuk). Keempukan daging dapat diketahui dengan
mengukur daya putusnya, semakin rendah nilai daya putusnya, semakin empuk
daging tersebut. Tujuan dari tinjauan ini adalah memberikan informasi mengenai
keempukan daging dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.( Tambunan, 2010)
MATERI DAN
METODA
Pengukuran
pH Daging
Bahan dan
Alat :
- Sampel daging sapi
- pH meter
- Larutan Buffer pH 7 dan 4
- Tissue
Cara Kerja :
- pH meter dikalibrasi dengan buffer pH 7 dan 4. Prosedur kalibrasi adalah sebagai berikut :
ü
Tekan tombol ON pada alat pH meter, tunggu beberapa saat sampai pada
layar display pH meter muncul tanda “CAL”
ü
Celupkan ujung pH meter (elektroda) pada larutan buffer pH 7, tunggu beberapa
saat sampai terdengar bunyi pada alat yang menunjukkan bahwa prosedur kalibrasi
pada larutan buffer pH 7 selesai dilakukan.
ü
Celupkan ujung pH meter (elektroda) pada larutan buffer pH 4, tunggu beberapa
saat sampai terdengar bunyi pada alat yang menunjukkan bahwa prosedur kalibrasi
pada larutan buffer pH 4 selesai dilakukan.
ü
Alat pH meter siap untuk digunakan
- Tusukan ujung alat pH meter pada sampel daging, baca dan catat nilai pH yang tertera pada layar display alat pH meter.
- Lakukan beberapa kali pengukuran untuk memperoleh hasil nilai pH yang akurat
- Jika melakukan pengukuran pH dengan sampel yang berbeda, maka sebelum alat pH meter digunakan, ujung alat pH meter dibasuh terlebih dahulu dengan menggunakan aquades, kemudian keringkan dengan tissue. Setelah itu lakukan pengukuran terhadap sampel yang lain.
- Apabila alat sudah dimatikan atau mati, maka proses kalibrasi harus dilakukan kembali apabila pH meter akan digunakan kembali.
- Apabila selesai digunakan, ujung alat pH meter dibasuh dengan aquades sampai bersih, kemudian keringkan dengan tissue dan simpan kembali alat pH meter pada tempatnya.
Pengukuran
Daya Mengikat Air (DMA / WHC = Water Holding Capacity) Metode Hamm
Bahan dan
Alat :
- Sampel daging sapi
- Timbangan Digital (Sartorius)
- Carper Press dengan tekanan 35 kg/cm2
- Kertas Saring Whatman 41 (diameter 9 cm)
- Planimeter
Cara Kerja :
- Timbang sampel sebanyak 0,3 gr dengan menggunakan timbangan Sartorius.
- Letakan sampel diantara 2 kertas saring, kemudian lakukan pengepresan dengan menggunakan Carper Press selama 5 menit.
- Setelah selesai dipress, pada kertas saring akan nampak dua lingkaran yang menunjukkan luas area daging yang kepress (Lingkar Dalam = LD) dan luas area dari air yang keluar dari daging hasil pengepressan (Lingkar Luar = LL atau luas area basah). Keringkan sebentar dan kemudian beri tanda dengan bolpoin kedua luasan area tersebut.
- Untuk mengetahui jumlah air bebas yang keluar dari daging, maka kita harus mengukur luasan kedua area tersebut dengan menggunakan Planimeter.
- Prosedur penghitungan dengan Planimeter :
ü
Beri tanda pada kedua lingkaran tersebut (LL dan LD) sebagai titik awal
penghitungan.
ü
Letakan Titik tengah pada kaca pembesar yang terdapat pada alat Planimeter
pada tanda di lingkaran (LL atau LD). Lakukan penghitungan pada titik awal dengan
membaca angka-angka yang tertera pada alat sebagai hitungan awal. Setelah
dihitung, putar kaca pembesar pada alat Planimeter searah jarum jam
mengikuti lingkaran yang sudah ditandai sampai titik awal. Lakukan penghitungan
kembali sehingga didapat angka akhir.
ü
Hitung selisih antara hitungan akhir dengan hitungan awal pada masing-masing
lingkaran (LL dan LD), kemudian bagi dengan 100. Nilai yang diperoleh
munujukkan luas area basah (dalam inch).
ü
Luas Area Basah = (selisih LL – selisih LD)
100
ü
Setelah diperoleh luas area basah, maka masukan nilai tersebut kedala rumus :
mgH2O
= luas area basah x 6,45 (konversi inch2 ke cm2) –
8
0,0948
ü
Nilai yang diperoleh menunjukkan jumlah air bebas yang keluar dari daging
(dalam milligram). Sedangkan untuk mengetahui persentase dari berapa banyak
jumlah air bebas yang keluar adalah sebagai berikut :
% air bebas
= mgH2O X 100 %
300
ü
Semakin banyak air bebas yang keluar dari daging menunjukkan bahwa sampel
daging tersebut memiliki kemampuan/daya mengikat air yang rendah.
Pengukuran
Keempukan Daging
Bahan dan
Alat :
- Sampel daging sapi
- Thermometer bimetal
- Corer
- Warner Bratzler Shear Force Device
- Timbangan digital
- Panci perebus
Cara Kerja :
- Siapkan sampel daging yang akan diuji dengan berat ± 100 gr.
- Rebus air sampai mendidih.
- Tusukan thermometer bimetal pada sampel daging sampai batas indikator yang terdapat pada alat.
- Rebus sampel daging sampai suhu dalamnya mencapai 81 oC, lalu angkat dan dinginkan.
- Daging dipotong searah serat dengan menggunakan corer. Lakukan beberapa kali pemotongan.
- Nyalakan Warner bratzler shear force device. Letakan sampel daging hasil corer pada alat pemotongan warner bratzler shear force. Tingkat keempukan daging ditunjukkan oleh besarnya kekuatan (kg/cm3) yang diperlukan untuk memotong sampel daging tersebut.
- Baca dan catat hasil pengukuran.
ü
Angka 0-3 : empuk
ü
Angka >3 – 6 : sedang
ü
Angka > 6 : a lot
Pengukuran
Susut Masak Daging
Bahan dan
Alat :
- Sampel daging sapi
- Thermometer bimetal
- Timbangan digital
- Panci perebus
Cara Kerja :
- Siapkan sampel daging yang akan diuji dengan berat ± 100 gr.
- Rebus air sampai mendidih.
- Tusukan thermometer bimetal pada sampel daging sampai batas indikator yang terdapat pada alat.
- Rebus sampel daging sampai suhu dalamnya mencapai 81 oC, lalu angkat dan dinginkan.
- Timbang sampel sampai beratnya konstan. Persentase susut masak dihitung dengan rumus berikut :
Susut Masak
(%) = berat awal-berat akhir X 100 %
berat awal
HASIL DAN
PEMBAHASAN
Hasil
Tabel.1
hasil pengamatan sampel daging sapi.
No
|
Sampel
|
Parameter
|
|||
DMA
|
pH
|
% Susut
Masak
|
Keempukan
|
||
1
|
A
|
81,13
|
5,53
|
37,10
|
4
|
2
|
B
|
89,29
|
5,50
|
37,78
|
4
|
3
|
C
|
96,78
|
5,37
|
42,74
|
5,23
|
Berdasarkan
hasil pengamatan, pH sampel daging tersebut rata-rata 5,4. Menurut Buckle et
al. (1987) pH akhir yang tercapai mempunyai pengaruh yang berarti dalam mutu
daging. pH rendah (5.1-6.1) menyebabkan daging mempunyai struktur terbuka
sehingga sangat baik untuk pengasinan, berwarna merah muda cerah sehingga
disukai oleh konsumen, mempunyai flavor yang lebih disukai dan mempunyai
stabilitas yang lebih baik terhadap kerusakan oleh mikroorganisme. pH tinggi
(6.2-7.2) menyebabkan daging mempunyai struktur tertutup atau padat dengan
warna merah ungu tua, rasa kurang enak dan keadaan yang lebih memungkinkan
untuk perkembangan mikroorganisme.
Untuk susut
masak memiliki nilai yang semakin besar dari sampel A, B dan C yang secara
berturut 37,10%, 37,78% dan 42,74%. Begitu juga dengan kemampuan mengikat air
dari sampel tersebut, sampel A memiliki nilai yang lebih rendah dengan 81,13
mgH2O, sampel B 89,29 mgH2O dan sampel C sebesar 96,78
mgH2O. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut, susut masak daging
sapi dipengaruhi oleh daya ikat air dan kadar air. Semakin tinggi daya ikat
air, semakin rendah kadar air daging sapi. Hal ini diikuti oleh turunnya
persentase susut masak daging sapi. Daging yang mempunyai angka susut masak
rendah, memiliki kualitas yang baik karena kemungkinan keluarnya nutrisi daging
selama pemasakan juga rendah.
Tingkat
keempukan pada ketiga sampel daging yang diuji menunjukan angka 4 sampai 5 yang
mempunyai arti daging ini dalam kategori sedang. Kategori sedang mempunyai
makna bahwa daging tersebut tidak termasuk daging yang empuk maupun daging yang
alot. Keempukan daging bisa dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya cara
pemeliharaan, umur potong, serat daging dan letak daging dalam karkas.
Setelah
hewan mati, metabolisme aerobic tidak terjadi karena sirkulasi darah ke
jaringan otot terhenti, sehingga metabolisme berubah menjadi system anaerobic
yang menybabkan terbenuknya asam laktat. Adanya penimbunan asam laktat dalam
daging menyebabkan turunnya pH jaringan otot. Penurunan pH terjadi karena
perlahan-lahan dari keadaan normal (7,2-7,4) hingga mencapai pH akhir sekitar
3,5-5,5. Kecepatan penurunan pH sangat dipengaruhi oleh temperature sekitarnya.
Suhu tinggi pH turun akan lebih cepat, demikian pula sebaliknya. Kecepatan
penurunan pH akan mempengaruhi kondisi fisik jaringan otot. (Lukman, 2010). pH
daging dari ketiga sampel memiliki nilai pH yang hampir sama. pH sampel daging
secara berturut-turut adalah sebagai berikut sampel A 5,53, sampel B 5,50 dan
sampel C 5,37.
KESIMPULAN
Berdasarkan
hasil pengamatan, dapat disimpulkan bahwa susut masak dipengaruhi oleh daya
ikat air. Selain itu susut masak daging berbanding lurus dengan pH dari daging
tesebut. Daging yang tergolong kedalam kategori sedang, hal ini bisa
dipengaruhi oleh beberapa hal seperti cara pemeliharaan dan umur potong dari
ternak tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Suharyanto,
2007. Kuliah dasar teknologi hasil ternak. http://suharyanto.wordpress.com. [18 September 2010].
Soeparno,
1992. Teknologi Pengawasan Daging. Fakultas Teknologi Pertanian Bogor, Bogor.
Wismer-Pedersen,
J. 1971. Pada The Science of Meat and Meat Products. 2nd Ed. J.F.
Price and B.S. Schweigert, W.H. Frreeman and Co., San Fransisco.
Tambunan,
Reny Debora. 2010. Keempukan Daging dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. www.lampung.litbang.deptan.go.id [18 September 2010].
Buckle KA,
Edward RA, Fleet GH, Wooton M. 1987. Ilmu Pangan. Purnomo H, Adiono,
penerjemah. Jakarta: UI Press. Terjemahan dari : Food Science.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar